Yang Terlupakan


“Tidak perlu disesali. Itu hidup yang telah Tuhan beri dan kita harus menjalaninya. Dengan cara yang baik, kita pasti bisa merubahnya.”
Masih teringat dengan jelas kata-kata ibu yang pernah beliau lontarkan padaku.

Pada suatu waktu ketika aku merasa Tuhan tak pernah adil dalam hidupku, dalam hidup keluargaku. Saat semua usaha yang telah dilakukan tak membuat hidup ini berubah menjadi lebih baik.

Kami bukan keluarga kaya, mungkin juga bukan keluarga yang miskin. Lebih tepatnya kami berkecukupan. Ayah yang seorang pegawai Negeri biasa dengan yang tak terlalu besar dan ibu seorang pekerja rumah tangga yang sesekali membantu keuangan dengan membuat kue-kue untuk dijual. Semuanya cukup dan sangat cukup. Sedangkan aku masih menjalani kuliah ku yang telah masuk ke tahun ke 3. Perjalanan hidup yang aku rasa sangat susah.
*
“Pak, Minta duit pak.”

“Buat apa Di?” tanya bapak.

“Buat benerin motor lagi pak. Aku minta beliin motor baru tapi nggak dibeliin.”

“Iya, sabar aja. Keuangan kita lagi nggak stabil.” Bapak kemudian mengeluarkan uang 100.000 dari dompetnya dan memberikannya padaku.

“Benerin dulu aja yang bisa dibenerin. Kalo ada rejeki kita ganti motornya.” Setelah mengucapkan terima kasih. Aku kemudian bapak meninggalkan bapak yang berada diteras rumah.

*

“Ah Motor butut!! baru aja dibenerin beberapa hari lalu udah mogok lagi.” Aku masih kesal. Untung saja jarak kerumah tidak terlalu jauh lagi. Dengan terpaksa aku mendorong motorku menuju kerumah, seperti biasa dengan omelan-omelan kecil dalam batinku. Mukaku masih terlipat menandakan rasa kesalku masih terlihat saat aku mendorong motorku melewati pagar rumah.

“Loh, kenapa Di. Kok didorong?” ibuku bertanya saat sedang menyapu teras.

“Biasa bu, motor butut. Minta diganti.” Aku kemudian melongsong masuk kerumah setelah membiarkan motor terparkir didekat teras rumah. Tak ada reaksi dari Ibu. Tak ada panggilan dan sebagainya. Mungkin telah lelah dengan rengekan-rengekan kecilku yang seperti anak TK meminta es krim. Seketika Aku menuju kamar dan bersiap-siap mandi.

*

Aku meneguk habis air putih yang ada digelas dan telah menyelesaikan makan malamku. Makan malam yang sederhana namun selalu membuat nyaman ketika bisa berkumpul bersama keluarga. Namun rasa kesal hari ini membuat aku tak menikmati kebersamaan ini.

“Motor kamu kenapa lagi Di? Rusak lagi?” tanya bapak yang duduk bersandar pada kursinya.

“Nggak tahu ah pak.” Jawabku ketus.

“Ya udah, besok kamu pake motor bapak aja. Kalo udah ada uang nanti beli yang baru, motor kamu dijual aja.” Dengan nada pelan bapak bicara, menunjukkan wajah sendu nya.

“Nggak apa pak. Besok aku naik bis aja kuliah. Aku kekamar dulu pak.” Aku berlalu menuju kamarku dan meninggalkan bapak dan ibu yang sedang membereskan piring dan gelas.

Ah, entahlah. Aku seperti jadi orang yang tak berperasaan. Ketika aku menginginkan sesuatu yang seharusnya belum pantas aku miliki. Terlebih aku hanya bisa meminta dan tak bisa berusaha sendiri. Namun aku kesal dengan keadaan yang tak pernah berubah. Pikiranku mengarah pada motor butut yang selalu menyusahkan.

*

Jadwal kuliah yang padat membuat aku lelah. Aku sadar seminggu ini aku tak menemui sahabatku untuk mengobrol dan bercanda. Sore ini aku menyempatkan untuk menemuinya setelah pulang dari kampus.

” Rendra ada tante?” tanyaku pada tante Ira, ibu Rendra.

“Ada dikamar mungkin Di, masuk aja.”

“Iya tante.”

Aku segera masuk kedalam rumah kecil, sederhana namun sangat nyaman. Rumah Rendra adalah salah satu tempat pelarian saat penat telah menumpuk dalam pikiranku. Aku memasuki kamar Rendra dan menyapanya. Kulihat Rendra sedang santai seraya membaca sebuah majalah tentang rumah.

“Eh, kamu Di. Darimana?” tanya Rendra.

“Biasa, pulang kuliah,” jawabku santai.

aku kemudian menaruh ranselku dan membaringkan tubuhku diatas tempat tidur Rendra, tepat disebelahnya yang sedang duduk. Kami berbincang-bincang tentang keseharian, bahkan seperti biasanya tentang cewek yang dari dulu nggak pernah habis untuk dibicarakan.

“Ren, gimana jadi kuliah?”

“Hmm.. kayaknya ditunda lagi Di.”

“kok gitu?”

“Yah, keuangannya lagi belum pas. Aku mau biayain sekolah si Adin. Dia mau masuk SMA. Kan bisa ngumpulin uang lagi nanti. Syukurin aja apa yang ada sekarang. Kamu tahu kan keluarga aku kayak ini. Harus bantu bapak biayai semuanya.”

Aku teringat bagaimana susahnya Rendra dalam menjalani hidup. Aku melihat Rendra tak pernah mengeluh dengan yang terjadi.

“Ren, pernah nggak kamu merasa Tuhan nggak adil atau merasa hidup kamu nggak lebih baik.” Aku bertanya padanya.

“Nggak. Kalo kita merasa gitu, paling aku ngejalaninya bakal lebih susah. Yang penting bersyukur . Oh ya satu lagi, Ikhlas. Ikhlas aja dengan hidup yang tuhan Kasih. Terus yah, berusaha dan jangan ngeluh. Tuhan pasti ngasih jalan yang baik buat hambanya yang bersyukur. Toh, aku selalu merasa berkecukupan sekarang.”

Sepertinya ada yang berdetak dalam jantungku setelah ucapan Rendra. Pikiranku secara tiba-tiba mengarah pada sikapku yang tak bersyukur pada kehidupanku dan selalu meminta lebih. Tak bersyukur bahwa aku bisa kuliah dan sebagainya. Sedangkan bisa dikatakan kehidupanku lebih ada dibandingkan Rendra.

Aku seperti ingin mengutuk diriku sendiri pada sikapku terhadap orang tuaku. Aku merasa bersalah. Kenapa aku melupakan rasa syukur itu. Kenapa?!!, Aku menjerit dalam hatiku sendiri.

“Aku kasih tahu kamu nih Di, Ibu aku pernah ngomong gini. Selalu bersyukur, walaupun itu hal kecil. Gimana kalau kita mau mensyukuri hal yang besar kalau hal kecil pun tak bisa kita syukuri. Jadi apapun yang kamu terima, kamu harus mensyukurinya.” Ucap Rendra yang menjelaskan perkataan Ibunya.

Sepertinya aku ingin menangis mendengarnya, namun aku menahannya dengan sekuat hati. AKu berniat untuk meminta maaf dan mengurungkan niatku untuk meminta yang belum pantas aku dapatkan. Aku tak pernah menyangka akan menerima pelajaran dadakan hari ini, pelajaran yang berarti.

“Eh, jangan bengong kamu Di. Orang ngomong malah bengong.”

“Ah, enggak kok. Aku nggak bengong.”

Tapi makasih banyak ya Ren nasihatnya, kataku dalam hati.

Tulisan ini disertakan dalam “TGFTD – Ryan GiveAway

TGFTD GiveAway

26 thoughts on “Yang Terlupakan

  1. Jangan hitung apa yang belum diberikan padamu;hitung apa yang telah kau terima dan nikmati agar kau pandai bersyukur. Itu twit aku bbrp hari lalu. Aku suka cerita sederhana ini.

  2. aku pernah sepeda rusak, jadi aktivitas ke mana-mana jadi jalan kaki. sekitar 2 – 3 kilo bolak-balik setiap hari. aku malah gak punya motor. sabar ya?
    iya.aku juga sering lupa syukur. sekarang harus sering2 ingat syukur.
    nasehat yang halus dalam sastra bisa disampaikan dalam dialog dan narasi. pembaca bakalan kena! it is etouch (electronic touching) for heart

  3. Pingback: TGFTD – The Winner Is… | Jejak Langkah...

Mari Berkomentar :)